"Saya sudah memiliki niat membantu anda dengan datang ke sini. Maksud saya, saya hanya ingin menolong seorang teman di sini. Namun jika anda tak menginginkan bantuan saya, saya dapat pergi sekarang juga. Atau, saya bisa tinggal jika anda memberi saya 2 juta yen, sehingga saya bisa menyelamatkan jiwa anak anda. Saya pikir dengan semua resiko yang saya hadapi, harga itu cukup setimpal." Ia berbalik menatapku, "Anda sudah pergi ke banyak kuil untuk meminta bantuan, bukan? Dan saya berani bertaruh, mereka sama sekali tak peduli pada anda. Well, itukarena tak banyak orang bisa menangani situasi seperti ini. Apa anda ingin mencari bantuan dari mereka lagi?"
Aku terdiam. Ketika Hayashi menyebutkan harga itu, aku menatap pada Ogawa yang terlihat sama terkejutnya dengan aku. Setelah berbicara satu sama lain selama beberapa saat, orang tuaku dengan enggan menyetujui harga itu. Hayashi kemudian mengatakan bahwa upacara exorcism (pengusiran setan) akan dilakukan malam ini dan ia mulai bersiap-siap. Apa yang ia maksud dengan bersiap-siap benar-benar berbeda dengan yang aku bayangkan. Ia mengatur lilin di kamarku dimana kami berdiri di dan ia menempel kertas mantra di tengah ruangan. Dia duduk bersila, menaruh sebuah bola kristal tepat didepannya dan mengambil sebuah tasbih di tangannya. Ia mengambil apa yang kuduga sebagai sake dan menuangkannya ke dalam gelas. Ya, itulah yang ia sebut sebagai persiapan. "Hei, Tomohiko, aku akan mengusir hantu itu dari tubuhmu, oke? Semuanya akan baik-baik saja sekarang, jadi aku ingin orang tuamu melakukan sesuatu untukku," ia menatap mereka dalam-dalam, "Maaf, namun kalian harus meninggalkan rumah ini untuk sementara waktu. Aku tak bisa menjamin hantu ini tak mencoba untuk merasuki orang lain, dan kita tentu tak ingin hal itu terjadi pada kalian." Orang tuaku menatapnya dengan curiga, namun akhirnya setuju untuk meninggalkan rumah. Mereka masuk ke dalam mobil mereka yang terparkir di luar sambil menunggu semuanya usai. Hayashi memulai ritualnya tepat setelah matahari terbenam. Ia mulai merapal apa yang terdengar bagiku seperti ayat-ayat kitab suci. Pada saat-saat tertentu, ia akan mencelupkan jarinya ke dalam segelas sake yang tadi ia persiapkan dan mencipratkannya ke arahku. Aku setengah percaya dan setengah ragu apakah ia benar-benar tahu apa yang ia lakukan. Aku menutup mataku dan berbaring di atas kasurku ketika ia menyuruhku begitu. Upacara itu berjalan beberapa lama. Alunan ayat-ayat itu lama-lama terdengar seperti putus-putus, entah kenapa. Aku menjaga mataku tetap tertutup, namun suasana di sekitarku mulai terasa tak beres. Suasana semakin mencekam hingga aku sadar bahwa ruangan ini benar-benar sunyi, tak ada lagi setitikpun suara. Aku tak merasakannya sebelumnya, namun leherku kembali terasa panas dan seperti terbakar.Rasanya sudah tak gatal lagi, namun menyakitkan. Aku ingin membuka mataku dan melihat apa yang terjadi, namun aku hanya menggertakkan gigiku dan memaksa diriku menahan rasa sakit ini. Namun aku tahu ada yang salah. Terdengar seperti upacara kini sudah berakhir, karena aku sudah tak mendengar suara apapun lagi. Namun rasanya ini bukan sebuah ending, melainkan ada sesuatu yang membuat upacara ini terpotong dari yang seharusnya. Benar-benar sunyi di dalam ruangan ini. Tak ada yang mengatakan sepatah katapun. Rasa sakit di leherku sama sekali tak berkurang, bahkan semakin meningkat. Rasa panas yang kurasakan sudah tak tertahankan lagi.Ruangan ini juga terasa lebih dingin ketimbang saat upacara itu dimulai. Dan aku merasakan seperti ada sesuatu yang berada disampingku. Aku menyuruh diriku sendiri untuk tidak membuka mata. Aku tahu aku tak boleh melakukan itu. Aku tahu bahwa tetap menutup mataku adalah hal terpintar yang bisa kulakukan. Namun aku tak bisa menahan godaan itu. Aku membukanya. Dan apa yang kulihat sangatlah mengerikan. Hayashi masih duduk di sisi kananku, terdiam bergeming. Namun di sisi kiriku, duduk makhluk itu. Ia duduk bersila, sama seperti Hayashi. Tangannya berada di atas kedua lututnya. Namun tubuhnya ... Tubuhnya menjulur ke arah depan, memanjang, tepat di atas tubuhku. Dan kepalanya ... kepalanya tepat berada di depan wajah Hayashi. Jarak antara wajah Hayashi dan kepala makhluk itu mungkin hanya berjarak satu bola baseball. Yang lebih aneh dan mengerikan, kepala hantu itu bergerak seperti burung hantu, memutar. Suara mengerikan seperti tulang patah mengikuti ketika ia memutar kepalanya,"Kreeek ... kreeeek ... kreeek..." Kepalanya miring, kemudian berputar hingga posisi kepalanya horisontal, kemudian memutar hingga tegak lurus, lalu memutar kembali hingga kembali ke posisinya semula, masih miring. Ia menatap mata Hayashi kemudian berbisik dengan suara yang teramat menakutkan. Aku tak mengerti apa yang ia katakan, mungkin ia membisikkan sesuatu kepada Hayashi, sesuatu yang amat mengerikan. Apapun yang ia bisikkan memiliki efek yang sangat besar untuk Hayashi. Wajahnya memucat hingga seputih kertas. Kepalanya menunduk dan pandangan matanya mengikuti, jatuh ke bawah. Ia sama sekali tak berkedip dan tak mengucapkan sepatah katapun. Mulutnya membuka dan sebenang air liur jatuh dari bibirnya. Walaupun sangat tipis, aku bisa melihatnya tersenyum. Ketika ia mendengarkan apapun yang makhluk itu bisikkan, sesekali ia mengangguk kecil. Yang bisa kulakukan hanya menatap peristiwa mengerikan itu tanpa bisa melakukan apapun. Makhluk itu tiba-tiba memutar lehernya,"Kreeeeek ....." Dan selanjutnya yang kutahu, ia tengah menatapku. Aku merasakan mataku segera menutup dan aku menarik selimutku ke atas kepalaku. Aku membisikkan doa-doa, namun bayangan ketika kepala makhluk itu memutar seperti burung hantu dengan suara mengerikan tetap terpatri dalam benakku. Aku sangat ketakutan. Aku mendengar suara berdecit dari arah tangga dan segera menyadari seseorang sedang menuruni tangga dengan terburu-buru. Hayashi telah melarikan diri. Aku meringkuk makin dalam di dalam selimutku, menunggu sesuatu untuk terjadi. Beberapa saat kemudian, orang tuaku masuk ke dalam kamar, menyalakan lampu, dan menarik selimut dari atas tubuhku. Di sana mereka melihatku meringkuk seperti janin. Mereka mengatakan bahwa Hayashi kabur tanpa sedikitpun melihat ke arah mereka. Ia langsung melompat ke dalam mobil dan meluncur pergi, menghilang ke dalam kegelapan malam. Ogawa kemudian mengatakan padaku bahwa ketika Hayashi masuk ke mobil, ia hanya mengatakan, "Nyalakan mobilnya dan cepat pergi" serta berperilaku sangat aneh sepanjang perjalanan. Kunjungan Hayashi seharusnya menyelamatkanku, namun kondisiku justru memburuk. Aku tahu aku tak bisa lagi menunggu Miss Akagi.
Aku terdiam. Ketika Hayashi menyebutkan harga itu, aku menatap pada Ogawa yang terlihat sama terkejutnya dengan aku. Setelah berbicara satu sama lain selama beberapa saat, orang tuaku dengan enggan menyetujui harga itu. Hayashi kemudian mengatakan bahwa upacara exorcism (pengusiran setan) akan dilakukan malam ini dan ia mulai bersiap-siap. Apa yang ia maksud dengan bersiap-siap benar-benar berbeda dengan yang aku bayangkan. Ia mengatur lilin di kamarku dimana kami berdiri di dan ia menempel kertas mantra di tengah ruangan. Dia duduk bersila, menaruh sebuah bola kristal tepat didepannya dan mengambil sebuah tasbih di tangannya. Ia mengambil apa yang kuduga sebagai sake dan menuangkannya ke dalam gelas. Ya, itulah yang ia sebut sebagai persiapan. "Hei, Tomohiko, aku akan mengusir hantu itu dari tubuhmu, oke? Semuanya akan baik-baik saja sekarang, jadi aku ingin orang tuamu melakukan sesuatu untukku," ia menatap mereka dalam-dalam, "Maaf, namun kalian harus meninggalkan rumah ini untuk sementara waktu. Aku tak bisa menjamin hantu ini tak mencoba untuk merasuki orang lain, dan kita tentu tak ingin hal itu terjadi pada kalian." Orang tuaku menatapnya dengan curiga, namun akhirnya setuju untuk meninggalkan rumah. Mereka masuk ke dalam mobil mereka yang terparkir di luar sambil menunggu semuanya usai. Hayashi memulai ritualnya tepat setelah matahari terbenam. Ia mulai merapal apa yang terdengar bagiku seperti ayat-ayat kitab suci. Pada saat-saat tertentu, ia akan mencelupkan jarinya ke dalam segelas sake yang tadi ia persiapkan dan mencipratkannya ke arahku. Aku setengah percaya dan setengah ragu apakah ia benar-benar tahu apa yang ia lakukan. Aku menutup mataku dan berbaring di atas kasurku ketika ia menyuruhku begitu. Upacara itu berjalan beberapa lama. Alunan ayat-ayat itu lama-lama terdengar seperti putus-putus, entah kenapa. Aku menjaga mataku tetap tertutup, namun suasana di sekitarku mulai terasa tak beres. Suasana semakin mencekam hingga aku sadar bahwa ruangan ini benar-benar sunyi, tak ada lagi setitikpun suara. Aku tak merasakannya sebelumnya, namun leherku kembali terasa panas dan seperti terbakar.Rasanya sudah tak gatal lagi, namun menyakitkan. Aku ingin membuka mataku dan melihat apa yang terjadi, namun aku hanya menggertakkan gigiku dan memaksa diriku menahan rasa sakit ini. Namun aku tahu ada yang salah. Terdengar seperti upacara kini sudah berakhir, karena aku sudah tak mendengar suara apapun lagi. Namun rasanya ini bukan sebuah ending, melainkan ada sesuatu yang membuat upacara ini terpotong dari yang seharusnya. Benar-benar sunyi di dalam ruangan ini. Tak ada yang mengatakan sepatah katapun. Rasa sakit di leherku sama sekali tak berkurang, bahkan semakin meningkat. Rasa panas yang kurasakan sudah tak tertahankan lagi.Ruangan ini juga terasa lebih dingin ketimbang saat upacara itu dimulai. Dan aku merasakan seperti ada sesuatu yang berada disampingku. Aku menyuruh diriku sendiri untuk tidak membuka mata. Aku tahu aku tak boleh melakukan itu. Aku tahu bahwa tetap menutup mataku adalah hal terpintar yang bisa kulakukan. Namun aku tak bisa menahan godaan itu. Aku membukanya. Dan apa yang kulihat sangatlah mengerikan. Hayashi masih duduk di sisi kananku, terdiam bergeming. Namun di sisi kiriku, duduk makhluk itu. Ia duduk bersila, sama seperti Hayashi. Tangannya berada di atas kedua lututnya. Namun tubuhnya ... Tubuhnya menjulur ke arah depan, memanjang, tepat di atas tubuhku. Dan kepalanya ... kepalanya tepat berada di depan wajah Hayashi. Jarak antara wajah Hayashi dan kepala makhluk itu mungkin hanya berjarak satu bola baseball. Yang lebih aneh dan mengerikan, kepala hantu itu bergerak seperti burung hantu, memutar. Suara mengerikan seperti tulang patah mengikuti ketika ia memutar kepalanya,"Kreeek ... kreeeek ... kreeek..." Kepalanya miring, kemudian berputar hingga posisi kepalanya horisontal, kemudian memutar hingga tegak lurus, lalu memutar kembali hingga kembali ke posisinya semula, masih miring. Ia menatap mata Hayashi kemudian berbisik dengan suara yang teramat menakutkan. Aku tak mengerti apa yang ia katakan, mungkin ia membisikkan sesuatu kepada Hayashi, sesuatu yang amat mengerikan. Apapun yang ia bisikkan memiliki efek yang sangat besar untuk Hayashi. Wajahnya memucat hingga seputih kertas. Kepalanya menunduk dan pandangan matanya mengikuti, jatuh ke bawah. Ia sama sekali tak berkedip dan tak mengucapkan sepatah katapun. Mulutnya membuka dan sebenang air liur jatuh dari bibirnya. Walaupun sangat tipis, aku bisa melihatnya tersenyum. Ketika ia mendengarkan apapun yang makhluk itu bisikkan, sesekali ia mengangguk kecil. Yang bisa kulakukan hanya menatap peristiwa mengerikan itu tanpa bisa melakukan apapun. Makhluk itu tiba-tiba memutar lehernya,"Kreeeeek ....." Dan selanjutnya yang kutahu, ia tengah menatapku. Aku merasakan mataku segera menutup dan aku menarik selimutku ke atas kepalaku. Aku membisikkan doa-doa, namun bayangan ketika kepala makhluk itu memutar seperti burung hantu dengan suara mengerikan tetap terpatri dalam benakku. Aku sangat ketakutan. Aku mendengar suara berdecit dari arah tangga dan segera menyadari seseorang sedang menuruni tangga dengan terburu-buru. Hayashi telah melarikan diri. Aku meringkuk makin dalam di dalam selimutku, menunggu sesuatu untuk terjadi. Beberapa saat kemudian, orang tuaku masuk ke dalam kamar, menyalakan lampu, dan menarik selimut dari atas tubuhku. Di sana mereka melihatku meringkuk seperti janin. Mereka mengatakan bahwa Hayashi kabur tanpa sedikitpun melihat ke arah mereka. Ia langsung melompat ke dalam mobil dan meluncur pergi, menghilang ke dalam kegelapan malam. Ogawa kemudian mengatakan padaku bahwa ketika Hayashi masuk ke mobil, ia hanya mengatakan, "Nyalakan mobilnya dan cepat pergi" serta berperilaku sangat aneh sepanjang perjalanan. Kunjungan Hayashi seharusnya menyelamatkanku, namun kondisiku justru memburuk. Aku tahu aku tak bisa lagi menunggu Miss Akagi.
Comments
Post a Comment