"Halo!" aku mengangkatnya secepat mungkin. "Hei, apa kau baik-baik saja?"
"Tidak... kondisiku tak begitu baik." Aku mencoba sebisa mungkin tak membiarkan perasaan menguasaiku, namun tangisku hampir pecah. "Oh, seburuk itu ya?" Kata 'buruk' bahkan tak cukup dekat untuk menggambarkannya. "Hei, bagaimana? Kau sudah menemukan seseorang untuk menolongku?" Ketika ia tak segera menjawabku, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. "Maaf, tapi aku belum menemukannya. Aku sudah menghubungi beberapa kawan lamaku, namun aku belum mendapatkan kabar apapun."
"Apa? Jadi apa yang harus kulakukan?" aku tahu aku terdengar sangat memaksa dan terdengar egois, namun aku tak peduli. Dia harus menolongku! "Tenanglah sedikit, oke? Tak ada seorangpun yang kukenal bisa menolongmu. Namun mungkin ada seseorang, ia teman dari temanku. Temanku mengatakan ia sangat jago dan ia akan sangat senang menolongmu, namun ..." "Namun?" aku mulai tak sabar. "Harganya sangat mahal." Ia tampak tak enak ketika menyebutkannya. "Ia minta bayaran?" "Ya begitulah kata temanku. Bagaimana, kau mau?" "Berapa?" sebenarnya aku tak ingin mendengar jawaban Ogawa, sebab ia sendiri terdengar sangat berat untuk mengatakannya. "Menurut temanku, mungkin sekitar 500 ribu yen [sekitar 59 juta]."
"500 ribu yen? Bagaimana aku harus membayarnya?" aku memiliki pekerjaan, namun mustahil bagiku mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat. Namun jika itu bisa melepaskan semua penderitaan ini, mungkin aku tak memiliki pilihan lain, "Baik, dimana aku bisa menemuinya" "Temanku bilang ia tinggal di Gunma. Aku harus menanyakan pada temanku dimana persisnya, jadi aku akan meneleponnya dan lihat apa yang bisa ia lakukan." Percakapan kamipun usai dan aku pergi untuk berdoa di altar kembali. Kalian mungkin masih ingat, pada hari aku tiba, ibuku memanggil nenek. Beliau mengatakan bahwa Miss Akagi mungkin akan datang untuk menolongku secepat mungkin. Namun ada masalah. Beliau sangat sibuk dan beliau juga sudah sangat tua. Paling cepat beliau bisa tiba di sini 3 minggu lagi. Itu berarti aku terjebak dengan keadaan ini untuk tiga minggu ke depan. Aku tak tahu apakah aku bisa bertahan selama itu dan semuanya itu membuatku sangat gugup dan ketakutan. Tiga minggu tanpa kepastian. Aku jelas takkan mampu melaluinya.Paling tidak, aku tak bisa hanya berdiam diri saja selama itu. Aku harus mencoba melakukan sesuatu. Ogawa meneleponku kembali sekitar jam 11 malam itu. "Maaf membuatmu menunggu. Aku harus menunggu temanku meneleponku balik. Ia bilang orang itu bisa datang ke tempatmu besok." "Besok?" "Besok hari Minggu bukan?" Ogawa terdengar terkejut saat ia tahu aku tak menyadari bahwa ini akhir pekan. Akupun sama terkejutnya. Sudah lima hari berlalu sejak kami berjumpa terakhir kalinya. Aku bahkan lupa bahwa aku sudah absen selama seminggu dari kantor. "Baiklah kalau begitu," jawabku, "Terima kasih. Jadi, dia akan datang ke sini, ke Saitama?" "Ya, katanya begitu. Ia memiliki mobil sendiri, jadi aku akan mengirimkan alamatmu kepadanya, oke?" "Baik, aku akan mengirimkanmu SMS berisi alamatku. Oya, kau tak melakukan apapun kan besok? Bisakah kau datang bersamanya?" "Oh, tentu. Jangan khawatir." "Oya ... bisakah kira-kira aku membayarnya belakangan?" aku tak mau berterus terang bahwa aku tak memiliki uang, namun kurasa Ogawa bisa menyimpulkannya sendiri."
"Kurasa bisa." "Baiklah. Hubungi aku besok jika kamu sudah berada di dekat sini." Semuanya tak begitu sesuai rencanaku, namun kurasa ini justru lebih baik. Malam itu, aku bermimpi aneh. Seorang gadis mengenakan kimono putih berlutut di lantai di sampingku. Ia membungkuk dalam-dalam ke depan, menaruh tiga jari dari tiap tangan ke lantai ketika ia membungkuk. Ia kemudian berdiri dan meninggalkan kamar, namun tidak sebelum ia membungkuk kembali di depan pintu. Aku tak tahu apa kaitan mimpi itu dengan situasi yang kini kualami, namun aku merasa seperti semua ini ada hubungannya. Hari berikutnya Ogawa meghubungiku tepat siang hari. Aku membimbingnya ke rumah orang tuaku ketika kami berbicara di telepon. Ia membawa teman yang katanya menawarkan bantuannya dan ia terlihat seperti berumur pertengahan 30-an. Aku sama sekali tak merasa pria ini bisa membantuku, ia malah terlihat seperti anggota yakuza kelas teri. Aku belum memberitahu orang tuaku tentangnya dan jelas mereka juga sama curiganya sepertiku. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Hayashi. Aku yakin itu bahkan bukan nama aslinya, namun semua itu bukan masalah bagiku. Ia kemudian berbicara denganku. "Tomohiko, aku dengar bahwa kau terlibat masalah yang sangat besar,bukan?" Maaf memotong di sini, namaku Tomohiko. Maaf baru mengatakannya. "Hayashi, bukan?" ayahku memotong pembicaraan kami. Nadanya sangat tajam dan defensif,"Bisakah saya tahu mengapa anda datang ke sini?" "Karena anak anda, Pak. Anda mungkin takkan mempercayai apa yang saya katakan pada anda, namun anak anda terlibat dalam suatu masalah, benar bukan? Dia mengemis meminta bantuan saya. Karena itulah saya datang." "Dia dalam masalah?" kata ibuku. Matanya beralih dari Hayashi ke arahku. "Ya. Saya punya pengalaman dengan hal-hal seperti ini. Masalahnya adalah kasus-kasus yang pernah saya tangani tak pernah ada yang seberat ini. Bukan saya ingin menakuti kalian semua, namun bahkan berada di ruangan ini lumayan membuat saya takut." Ayahku semakin tak yakin dengan orang ini, "Maafkan saya bertanya, namun apa sebenarnya pekerjaan anda?"
"Ah, mungkin anda berpikir saya ini orang gila. Namun pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan yang rumit dengan jawaban yang rumit pula. Percayalah saja pada saya ketika saya mengatakan bahwa hanya saya yang dapat menolong anak anda. Anda tak ingin dia direnggut dari anda untuk selamanya, bukan?" "Apa kami bisa mempercayai anda untuk menolong anak kami?" ibuku tak sebegitu curiga pada orang ini ketimbang ayahku, namun ia juga tampak tak mempercayai Hayashi sepenuhnya. "Saya akan membantu kalian jika kalian mengizinkannya." Ia menatap mata ibuku dengan tajam ketika mengatakannya. Ibuku mengangguk. "Masalah seperti ini hanya bisa dipecahkan oleh seorang ahli seperti saya. Dan anda tahu, hal ini juga cukup berbahaya bagi diri saya sendiri. Saya membutuhkan suatu jaminan, apa anda mengerti apa yang saya katakan?" "Berapa yang kau inginkan?" keraguan ayahku semakin menguat. Garis-garis di wajahnya makin menebal. "Hmmm ... jika saya tidak mendapat 2 juta yen [sekitar 230 juta rupiah] ..." "Apa kau bercanda?" wajah ayahku berubah merah akibat amarahnya.
"Tidak... kondisiku tak begitu baik." Aku mencoba sebisa mungkin tak membiarkan perasaan menguasaiku, namun tangisku hampir pecah. "Oh, seburuk itu ya?" Kata 'buruk' bahkan tak cukup dekat untuk menggambarkannya. "Hei, bagaimana? Kau sudah menemukan seseorang untuk menolongku?" Ketika ia tak segera menjawabku, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. "Maaf, tapi aku belum menemukannya. Aku sudah menghubungi beberapa kawan lamaku, namun aku belum mendapatkan kabar apapun."
"Apa? Jadi apa yang harus kulakukan?" aku tahu aku terdengar sangat memaksa dan terdengar egois, namun aku tak peduli. Dia harus menolongku! "Tenanglah sedikit, oke? Tak ada seorangpun yang kukenal bisa menolongmu. Namun mungkin ada seseorang, ia teman dari temanku. Temanku mengatakan ia sangat jago dan ia akan sangat senang menolongmu, namun ..." "Namun?" aku mulai tak sabar. "Harganya sangat mahal." Ia tampak tak enak ketika menyebutkannya. "Ia minta bayaran?" "Ya begitulah kata temanku. Bagaimana, kau mau?" "Berapa?" sebenarnya aku tak ingin mendengar jawaban Ogawa, sebab ia sendiri terdengar sangat berat untuk mengatakannya. "Menurut temanku, mungkin sekitar 500 ribu yen [sekitar 59 juta]."
"500 ribu yen? Bagaimana aku harus membayarnya?" aku memiliki pekerjaan, namun mustahil bagiku mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat. Namun jika itu bisa melepaskan semua penderitaan ini, mungkin aku tak memiliki pilihan lain, "Baik, dimana aku bisa menemuinya" "Temanku bilang ia tinggal di Gunma. Aku harus menanyakan pada temanku dimana persisnya, jadi aku akan meneleponnya dan lihat apa yang bisa ia lakukan." Percakapan kamipun usai dan aku pergi untuk berdoa di altar kembali. Kalian mungkin masih ingat, pada hari aku tiba, ibuku memanggil nenek. Beliau mengatakan bahwa Miss Akagi mungkin akan datang untuk menolongku secepat mungkin. Namun ada masalah. Beliau sangat sibuk dan beliau juga sudah sangat tua. Paling cepat beliau bisa tiba di sini 3 minggu lagi. Itu berarti aku terjebak dengan keadaan ini untuk tiga minggu ke depan. Aku tak tahu apakah aku bisa bertahan selama itu dan semuanya itu membuatku sangat gugup dan ketakutan. Tiga minggu tanpa kepastian. Aku jelas takkan mampu melaluinya.Paling tidak, aku tak bisa hanya berdiam diri saja selama itu. Aku harus mencoba melakukan sesuatu. Ogawa meneleponku kembali sekitar jam 11 malam itu. "Maaf membuatmu menunggu. Aku harus menunggu temanku meneleponku balik. Ia bilang orang itu bisa datang ke tempatmu besok." "Besok?" "Besok hari Minggu bukan?" Ogawa terdengar terkejut saat ia tahu aku tak menyadari bahwa ini akhir pekan. Akupun sama terkejutnya. Sudah lima hari berlalu sejak kami berjumpa terakhir kalinya. Aku bahkan lupa bahwa aku sudah absen selama seminggu dari kantor. "Baiklah kalau begitu," jawabku, "Terima kasih. Jadi, dia akan datang ke sini, ke Saitama?" "Ya, katanya begitu. Ia memiliki mobil sendiri, jadi aku akan mengirimkan alamatmu kepadanya, oke?" "Baik, aku akan mengirimkanmu SMS berisi alamatku. Oya, kau tak melakukan apapun kan besok? Bisakah kau datang bersamanya?" "Oh, tentu. Jangan khawatir." "Oya ... bisakah kira-kira aku membayarnya belakangan?" aku tak mau berterus terang bahwa aku tak memiliki uang, namun kurasa Ogawa bisa menyimpulkannya sendiri."
"Kurasa bisa." "Baiklah. Hubungi aku besok jika kamu sudah berada di dekat sini." Semuanya tak begitu sesuai rencanaku, namun kurasa ini justru lebih baik. Malam itu, aku bermimpi aneh. Seorang gadis mengenakan kimono putih berlutut di lantai di sampingku. Ia membungkuk dalam-dalam ke depan, menaruh tiga jari dari tiap tangan ke lantai ketika ia membungkuk. Ia kemudian berdiri dan meninggalkan kamar, namun tidak sebelum ia membungkuk kembali di depan pintu. Aku tak tahu apa kaitan mimpi itu dengan situasi yang kini kualami, namun aku merasa seperti semua ini ada hubungannya. Hari berikutnya Ogawa meghubungiku tepat siang hari. Aku membimbingnya ke rumah orang tuaku ketika kami berbicara di telepon. Ia membawa teman yang katanya menawarkan bantuannya dan ia terlihat seperti berumur pertengahan 30-an. Aku sama sekali tak merasa pria ini bisa membantuku, ia malah terlihat seperti anggota yakuza kelas teri. Aku belum memberitahu orang tuaku tentangnya dan jelas mereka juga sama curiganya sepertiku. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Hayashi. Aku yakin itu bahkan bukan nama aslinya, namun semua itu bukan masalah bagiku. Ia kemudian berbicara denganku. "Tomohiko, aku dengar bahwa kau terlibat masalah yang sangat besar,bukan?" Maaf memotong di sini, namaku Tomohiko. Maaf baru mengatakannya. "Hayashi, bukan?" ayahku memotong pembicaraan kami. Nadanya sangat tajam dan defensif,"Bisakah saya tahu mengapa anda datang ke sini?" "Karena anak anda, Pak. Anda mungkin takkan mempercayai apa yang saya katakan pada anda, namun anak anda terlibat dalam suatu masalah, benar bukan? Dia mengemis meminta bantuan saya. Karena itulah saya datang." "Dia dalam masalah?" kata ibuku. Matanya beralih dari Hayashi ke arahku. "Ya. Saya punya pengalaman dengan hal-hal seperti ini. Masalahnya adalah kasus-kasus yang pernah saya tangani tak pernah ada yang seberat ini. Bukan saya ingin menakuti kalian semua, namun bahkan berada di ruangan ini lumayan membuat saya takut." Ayahku semakin tak yakin dengan orang ini, "Maafkan saya bertanya, namun apa sebenarnya pekerjaan anda?"
"Ah, mungkin anda berpikir saya ini orang gila. Namun pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan yang rumit dengan jawaban yang rumit pula. Percayalah saja pada saya ketika saya mengatakan bahwa hanya saya yang dapat menolong anak anda. Anda tak ingin dia direnggut dari anda untuk selamanya, bukan?" "Apa kami bisa mempercayai anda untuk menolong anak kami?" ibuku tak sebegitu curiga pada orang ini ketimbang ayahku, namun ia juga tampak tak mempercayai Hayashi sepenuhnya. "Saya akan membantu kalian jika kalian mengizinkannya." Ia menatap mata ibuku dengan tajam ketika mengatakannya. Ibuku mengangguk. "Masalah seperti ini hanya bisa dipecahkan oleh seorang ahli seperti saya. Dan anda tahu, hal ini juga cukup berbahaya bagi diri saya sendiri. Saya membutuhkan suatu jaminan, apa anda mengerti apa yang saya katakan?" "Berapa yang kau inginkan?" keraguan ayahku semakin menguat. Garis-garis di wajahnya makin menebal. "Hmmm ... jika saya tidak mendapat 2 juta yen [sekitar 230 juta rupiah] ..." "Apa kau bercanda?" wajah ayahku berubah merah akibat amarahnya.
Comments
Post a Comment